Senin, 18 Februari 2013

Selasa, 19 Februari 2013

aku mulai mengeluh tentang hidupku, bosan rasanya menjalani rutinitas seperti ini. kuliah-nongkrong-cucian-musik-nonton-game-tidur.seperti tak ada kegiatan lain dalam hidup ini. gw sadar, tapi entah kenapa gw males melangkah ke kegiatan yang berbeda dr rutinitas gw sehari-hari. klo lu bingung, gapapa. dan parahnya, gw tuh orangnya kaga suka klo dinasehatin. malah terkadang ngelawan. jadi harus digimanain ya?

tapi yowesslah, kan hidup tuh indah klo dibuat indah. klo dipake ngeluh, habislah waktu hidup gw. hidup itu singkat. :)

Jumat, 01 Februari 2013

me

"manusia pasti dilahirkan dengan mimpi, kenapa tidak sekalian dibikin besar?" jikalau ada yang bilang mimpi kamu itu ketinggian maka katakan pada mereka bahwa "Perbedaan antara hal mustahil dan tidak mustahil terletak pada tekad seseorang." dan ketahuilah baha "Tuhan memeluk mimpi-mimpimu". jangan pernah putus asa dan JANGAN PERNAH MENYERAH.

pemusatan kekuasaan


Tugas Praktikum Ke-10                    Hari/Tanggal : Rabu/21 November 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04
TERJADINYA PEMUSATAN KEKUASAAN
Catatan untuk Bachrudin Martosukarto
Oleh Sulardi
PENGGULINGAN KEKUASAAN: ANTARA ORLA DAN ORBA
Oleh Panji Semirang
SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN
Oleh Anwar Hudijono
Disusun oleh:
Muhammad Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 8
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017


 
Ikhtisar bacaan 1
            Sejak kemerdekaan, bangsa ini masih terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum yang kokoh dan demokratis.Telah lama bangsa Indonesia menjalani kehidupan politik yang otoriter dengan pemusatan kekuasaan pada presiden. Hal ini terlihat dari penyusunan konstitusi yang cenderung menitikberatkan segala kekuasaan pada presiden.
            Contoh daripenyimpangan ini adalah dengan adanya maklumat Presiden No 1 tahun 1946 yang menjadi landasan bagi presiden untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan sepenuhnya. Selain itu, saat itu muncul TAP MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Namun akhirnya penyimpangan ini diakhiri dengan ditumpasnya G30S/PKI.
                Kemudian pemerintahan Indonesia pun diganti dengan pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini terjadi doktrin bahwa apa yang dikatakan pemerintah adalah selalu benar adanya. Karenanya, DPR menjadi sebuah badan yang ompong.  Kekuasaan  presiden pun semakin besar. Setelah itu, presiden pun mulai “meranjah” kekuasaan MPR. Presiden, yang seharusnya “seolah-olah” menjadi mandataris MPR, malah benar-benar menjadi mandataris MPR. Alhasil, kedaulatan MPR pun diambil alih oleh presiden.
                Jalan keluar yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan melakukan reformasi politik. Namun, untuk dapat merealisasikannya, diperlukan kemauan dan usaha yang gigih dari penguasa negeri ini untuk benar-benar melakukan perubahan.

Ikhtisar bacaan 2
                Orde Lama (Orla) adalah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa Soekarno. Sedangkan Orde Baru (Orba) adalah suatu tatanan yang mengantikan Orde lama. Dalam pergantian dari Orla ke Orba ini terjadi pertumbahan darah.yang dilakukan oleh PKI. Namun, ternyata Orba masih saja belum sesuai dengan konsep demokrasi yang diinginkan rakyat. Untuk itulah, pada tahun 1998 terjadi demo besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia untuk menuntut perubahan menuju pemerintahan reformasi. Dalam proses pergantian Orba ke reformasi ini juga terjadi pertumpahan darah yang dialami oleh para mahasiswa dari Universitas Trisakti.
                Ada  persamaan dalam dua proses pergantian kekuasaan ini, yaitu keduanya terjadi akibat adanya rasa tidak suka terhadap presiden yang diangap terlalu berkuasa. Ada juga perbedaannya, yang pertama adalah pada pergantian Orla menuju Orba marinir ada bersama para pendemo, namun pada pergantian Orba menuju reformasi militer tidak berdiri untuk mendukung para pendemo. Yang kedua, pada pergantian orba menuju reformasi, media massa sangat berperan dalam menyebarkan berita saat demo berlangsung, sedangkan pada pergantian orla tidak.. Yang terakhir, perbedaannya terletak pada jumlah korban. Pergantian menuju pemerintahan reformasi lebih banyak memakan korban.

Ikhtisar Bacaan 3
                Masyarakat Sampang (Madura) telah dikenal sebagai sosok masyarakat yang kaku dan keras. Mereka menjadi terkenal karena aksi-aksi heroik mereka dalam menentang kezaliman pemerintah. Contohnya adalah Tragedi Nipah. Aksi mereka pada tahun 1993, ketika para petani miskin maju menerjang peluru aparat militer untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat mereka atas tanah yang akan dijadikan waduk. Bukan hanya itu saja. Pada tahun 1997 masyarakat Sampang bergolak menentang hasil pemilu karena dinilai tidak jujur dan tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan Golkar, partainya para penguasa.
                Rupanya perlawanan memang sudah menjadi ornamen kultural masyarakat Sampang sejak lama. Ketika marak terjadi penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar dalam pemilu 1971, Sampang dijadikan sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) dalam melakukan perlawanan terhadap Golkar. Usaha itu membuahkan hasil. Akhirnya NU mendapatkan kursi lebih banyak daripada Golkar.
                Sampai rezim Orde Baru runtuh, Sampang dikenal sebagai daerah yang sulit “ditaklukkan”. Mereka mampu dan mau melawan rezim pemerintah. Hal ini mungkin saja terjadi karena mereka mewarisi tradisi perlawanan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang.


Resume 6 Sosiologi Umum


Tugas Praktikum Ke-6                      Hari/Tanggal : Rabu/10 Oktober 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04
Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Oleh : Djuhendi Tadjudin
Sistem Bagi Hasil di Jawa Tengah
Oleh : Warner Roell
Disusun oleh:
M. Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 7
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017


 
Ikhtisar bacaan 1
Ciri khas Badui Luar di Kenekes yang selalu memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua adalah analogi bagi sistem pengelolaan sumber daya hutan kita. Warna-warna lain bukanlah pilihan bagi suku Badui Luar. Sama dengan sistem pengelolaan hutan kita yang ketika sebuah konsep dioperasikan malah berujung pada kinerja yang ironikal dan berbalik merusak alam, sedangkan opsi perbaikan bukanlah suatu pilihan. 
Kartodihardjo (1999) menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan saat ini bersifat paradoksal dan diusulkan agar segera dilakukan penelitian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradoks itu.
Praktik pengelolaan hutan saat ini sarat persengketaan, baik pada tataran persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, dan akuan terhadap hak kepemilikan (Tadjudin, 1999). Pada diskusi ini, persengketaan dibatasi pada tata nilai, hak kepemilikan (kelembagaan institusi), dan model pengelolaan (organisasi). Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Sebenarnya banyak model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, namun implementasi bangsa kita cenderung selalu ada bias. Jika kita bisa menggabungkan kontrol pemerintah dan masyarakat dan dalam posisi yang sederajat, maka akan ada kolaborasi yang ideal. Manajemen kolaboratif inilah yang merupakan pilihan yang paling masuk akal dimana tercipta perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumber daya hutan alam produksi yang mencegah terdegradasinya hutan sebagai “sumber daya terbuka”.
Hutan Kemasyarakatan (HKM) merupakan perwujudan pengelolaan hutan tawaran pemerintah yang mengakomodasi kepentingan partisipasi masyarakat luas tadi, berikut dengan keunggulan dan kearifan masyarakat lokal. Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah mencoba menuangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (HKM) pada tanggal 7 Oktober 1998. Namun, dalam regulasi itu banyak ambiguitas dan tak tepat sasaran.
Walaupun demikian, apapun bentuk pilihan masyarakat itu harus mencapai hasil akhir efisiensi, keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Selain itu, bagaimana pun format kelembagaan yang diusulkan harus mempunyai batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan yang jelas.

Ikhtisar 2
Sistem bagi hasil (bagi garap) di Indonesia mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian yang ada di Negara ini, sebagaimana di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun mengolah sendiri tanah perairan diharuskan oleh Undang-Undang Agraria Tahun 1990,     tetapi dalam perkiraan resmi tahun yang sama, jumlah penggarap bagi hasil di antara petani lebih dari 50% sedangkan hasil yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai 40%.
Beberapa analisis yang telah dilakukan di daerah tertentu menghasilkan data-data yang berbeda untuk jumlah sistem garap dan system bagi hasil yang disebabkan oleh statistic pertanian di Indonesia yang sangat tidak memadai. Dinamika ini disebabkan oleh semakin buruknya struktur sosio-ekonomi dan usaha transmigrasi yang terhambat karena masalah keuangan. Salah satu contoh nyata semakin buruknya struktur sosio-ekonomi di Indonesia ini adalah bentuk pertanian umum yaitu persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi namun tingkat teknik produksi masih rendah. Begitupun dengan usaha transmigrasi yang terhambat menimbulkan masalah seperti kepadatan penduduk yang melampaui batas, seperti di Jawa ini. Dimana produksi pangan terutama beras melampaui kebutuhan penduduk, namun daya belinya rendah, sehingga sering menyebabkan timbul masalah pangan yang darurat.
Dilihat dari berbagai masalah ini ternyata Undang-undang penggarapan yang telah dikeluarkan pada tahun 1960 yang bertujuan untuk memperbaiki pendapatan penggarap, tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian.
Berdasarkan penelitian di daerah-daerah tersebut, system bagi hasil yang digunakan adalah sebagai berikut :
  1. Sistem Maro (garap separuh, bagi separuh)
2.    System Mertelu (Dimana pemilik tanah yang menyediakan lahan pertanian mendapat dua per tiga hasil panen karena menyediakan lahan pertanian)
3.    Sistem Merapat (Tipe bagi hasil ini membagi panen menjadi tiga perempat untuk pemilik tanah dan seperempat untuk penggarap)
Walaupun pada saat ini Undang-undang penggarapan yang dikeluarkan tahun 1960 tersebut tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian. Namun jika ada usaha-usaha lain untuk mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih baik, seperti ditingkatkannya usaha keberlanjutan yang dirancang serasi dalam bidang pertanian, perbaikan bidang politik kependudukan, serta perbaikan usaha industrial dan infrastruktur, maka tidak akan menutup kemungkinan bahwa pendapatan penggarapan di Indonesia akan menjadi lebih baik.

Resume 9 Sosiologi umum


Tugas Praktikum Ke-9                      Hari/Tanggal : Rabu/12 September 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04
SISTEM STATUS DAN PELAPISAN MASYARAKAT SISTEM STATUS YANG BERUBAH
Runtuhnya Sistem Status Kolonial dalam Abad Kedua Puluh
Oleh : W. F. Wertheim
SITUASI SOSIAL DUA KOMUNITAS DESA DI SULAWESI SELATAN
Oleh : Mochtar Buchori dan Wiladi Bidiharga
Disusun oleh:
Muhammad Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 8
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017


 
Ikhtisar bacaan 1
Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pelapisan masyarakat yang didasarkan pada garis ras. Belanda menempatkan dirinya di lapisan teratas. Tetapi pada abad XX terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola kaku tersebut dan meningkatkan mobilitas sosial. Uanglah yang melakukan pendobrakan pada sistem yang lama.
Pada tahun 1900, perbedaan profesi semakin meningkat. Semakin banyak orang Indonesia yang bekerja di bidang perdagangan dibandingkan dengan sebelumnya. Perkembangan selanjutnya ketika masa depresi sekitar tahun 1930, suatu kelas bumiputera yang tumbuh mulai ada mendobrak susunan masyarakat tradisional lama dan memberi pengaruh yang bersifat individual.
Setelah tahun 1990, pendidikan mulai terbuka untuk orang-orang Indonesia. Lambat laun, orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan,tidak lagi menerima pelapisan sosial kolonial berdasarkan ras. Pada masa ini, terjadi perubahan sikap pada orang-orang Indonesia yang tidak lagi bangga menggunakan bahasa belanda atau bekerja d kantor pemerintahan belanda. Dominasi orang cina di bidang perdagangan juga sudah dapat diatasi oleh kaumpedagang Indonesia. Sehingga lama kelamaan bangsa Eropa dan Cina menjadi setara dengan bangsa Indonesia karena pendidikan. Namun, di sisi lain, sikap individualis dan penghargaan pada kekayaan materi semakin menguasai orang-oang Indonesia.

Ikhtisar bacaan 2
Desa Maricaya Selatan
Desa Maricaya merupakan desa yang terletak di Sulawesi Selatan yang 75,6% penduduknya memeluk agama Islam dan sisanya memeluk agama Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Dari lima golongan masyarakat tersebut dibagi lagi menjadi tiga lapisan pokok masyarakat yang dilihat dari segi ekonomi yaitu : (1) Lapisan ekonomi yang mampu, terdiri dari para pejabat dan kelompok professional lainnya. (2) Lapisan ekonomi menengah, terdiri dari para alim, ulama, pegawai dan kelompok wirausaha. (3) Lapisan ekonomi miskin yang terdiri dari para buruh
Dilihat dari tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan pada masyarakat desa Maricaya ini sudah terlihat sangat baik. Mereka tampak berusaha memanfaatkan kesempatan pendidikan yang tersedia seoptimal mungkin. Walaupun yang dapat mengecam pendidikan sampai ke perguruan tinggi hanyalah orang-orang dari lapisan atas yang memiliki kemampuan dibidang ekonomi. Namun bagi mereka yang tidak mampu bukan berarti mereka tidak bisa mendapatkan pengetahuan lebih, mereka lebih banyak memilih untuk membeli media massa atau Koran untuk mengetahui berita dan informasi atau bahkan jika mereka tidak mampu membeli maka mereka berusaha meminjam atau turut membaca dari mereka yang mampu beli
Desa Polewali                                
Tidak berbeda dengan desa Maricaya Selatan, di desa Polewali pun terdapat tiga lapisan masyarakat yaitu : (1) Lapisan atas, terdiri dari para pemangku adat, alim ulama, dan para pejabat (2) Lapisan menengah, terdiri dari pegawai negeri dan para pedagang. (3) Lapisan bawah yang terdiri dari kaum buruh
Terdapat kecenderungan hedonisme dikalangan pejabat desa Polewali, mereka cenderung untuk bersikap lebih modern. Sedangkan masyarakat lainnya masih menjunjung kesederhanaan seperti yang dilakukan para ulama mereka, karena pada umumnya agama mendapatkan tempat yang penting dalam masyarkata Polewali. Sehingga masyarakat Polewali tampak sebagai masyarakat yang lebih bersifat inward looking. Dan kesadaran masyarakat Polewali tentang pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi.

Resume 5 Sosiologi Umum


Tugas Praktikum Ke-5                      Hari/Tanggal : Rabu/03 Oktober 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04

OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK
Oleh : Arbain Rambey
KEHIDUPAN SUKU DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI
Oleh : Franky Raden
Disusun oleh: Muhammad Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 7
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017


 
Ikhtisar bacaan 1
Pembaca surat kabar di Medan seakan dibombardir dengan iklan yang mengajak agar masyarakat Batak Toba mengusir perusahaan yang merusak lingkungan Bona Pagosit. Lingkungan Bona Pasogit adalah bahasa sub-etnik Batak Toba untuk menyebut daerah tempat tinggal mereka di Sumatera Utara, tepatnya di sekitar Danau Toba. Pemasang iklan itu adalah Parbato atau Pertungkoan Batak Toba, sebuah organisasi kesukuan yang berdiri pada bulan Agustus 1997. Gerakan kesukuan ini menimbulkan pertanyaan, tidakkah gerakan kesukuan merupakan langkah mundur di tengah arus globalisasi. Tetapi menurut Ompu Monang, ketua Parbato sejak 1997, banyak masalah hanya bisa didekati secara etnis. Dia juga memaparkan pentingnya tiap etnis di Indonesia punya kesadaran diri untuk menggalang solidaritas kecil yang akhirnya berguna untuk solidaritas Indonesia secara keseluruhan.Batak toba merupakan salah satu sub-etnis suku Batak.
Watak keras tampak jelas pada Ompu Monang yang aslinya bernama Daniel Napitulu. Kata-kata kerasnya kerap diungkapkannya di berbagai media masa menyangkut kelestarian lingkungan. Di satu sisi, kehangatan kekerabatan membawa arus positif. Rasa tanggung jawab pada pendidikan dan perawatan seorang anak bisa melebar pada paman-pamannya. “ Itu sisi positif kebudayaan  kami yang harus dipertahankan”. Kata Ompu Monang. Sedangkan sisi negatif kekerabatan Batak Toba menurut Ompu Monang adalah penghaburan uang dari waktu. Dalam sebuah pesta Batak, orang bukan kerabat yang hadir akan sangat kesal menunggu sampai selesainya acara keluarga yang sangat bertele-tele.
Sudah berkali-kali Parbato menyelenggarakan seminar untuk membahas penyelewengan adat Batak Toba semacam itu. Namun hasil seminar masih terbatas pada cetakan hasil seminar saja. Belum ada juga tindakan nyata mengatasi keborosan adat ini. Untuk mengatasi kebuntuan ini, Ompu Monang akhirnya “mengorbankan” diri sendiri. Pada pesta perkawinan anak perempuannya pertengahan Desember mendatang, ia melaksanakannya dengan cara menurut dia efisien namun tidak keluar dari adat Batak Toba.
Akhirnya, masih dengan semangat mengingatkan bahwa gerakan etnis masih perlu, Ompu Monang berkata lagi, “ Itu yang aku bilang. Sebagai Parbato, aku mau supaya organisasi ini tidak cuma ngomong. Perbuatan nyata adalah nasehat terbaik.

Ikhtisar 2
            Daerah pemukiman suku dayak Kenyah dan Mondang yang terletak di wilayah Kecamatan Ancalong,Tenggarong merupakan daerah terisolir. Dulunya daerah ini masih masih hidup dalam bentuk keutuhan kebudayaan dan sistem nilai mereka yang asli. Tetapi setelah kedatangan Belanda yang membawa agama Kristiani,banyak terjadi konflik diantara mereka dan berujung pada perpecahan. Selain masalah keagamaan, kesulitan memperoleh barang kebutuhan baru menjadi penyebab timbulnya konflik. Karena konflik tersebut, ada diantara mereka yang memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya. Inilah awal dari proses pemiskinan yang menggerogoti setiap sisi kehidupan mereka.
            Suku Dayak kenyah dan Mondang saat ini hidup di sepanjang Sungai Kelinjau. Dilihat dari sepintas lalu kehidupan mereka sehari-hari kelihatan berkecukupan. Namun kenyataannya tidak demikian. Arus perekonomian dikuasai oleh para pendatang yang mendirikan warung. Akhirnya, kondisi perekonomianlah yang menjadi salah satu faktor yang paling kuat dalam mengakibatkan kegoncangan dan memojokkan kehidupan orang-orang Dayak. Kondisi ini juga berdampak pada kebudayaan dan kesenian mereka yang terdistorsi. Contohnya, Lamin yang merupakan manifestasi dari tata cara pemerintah dan susunan masyarakat serta merupakan titik sentral dari aktivitas kehidupan mereka dalam ruang penghayatan kebersamaan yang eksistensial, akhirnya tereduksi menjadi bangunan megah yang mati karena setiap keluarga saat ini sudah mempunyai rumah sendiri. Akibat dari proses desentralisasi ini yaitu kesenian menjadi terpisah dari kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi ini, tidak dapat dilepaskan dari penanganan dan tanggungjawab pemerintah daerah. Tetapi usaha dari pemerintah ini hanya menjebak mereka ke dalam masalah yang rumit.
            Faktor terjahat yang menggoncangkan kehidupan masyarakat Dayak adalah munculnya penguasa hutan yang mendadak mengunci hutan untuk daerah perladangan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Ini membuat mereka pontang-panting berusaha mencari alternatif hidup lain. Menurut suku Dayak, tanggalnya sebuah roda kehidupan yang menggerakkan seluruh sistem nilai mereka, merupakan titik awal dari munculnya khaos. Dari sini jelas bahwa proses pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan di tiap sisi kehidupan. Fakta yang dekat dari signifikan masalah ini terlihat jelas pada kehidupan suku Dayak Umak Tau di kampung Tanjung Manis. Kampung ini adalah kampung yang paling miskin dan rawan di seluruh kecamatan. Tetapi, di dalam diri mereka terdapat jiwa gotong royong dan kooperatif. Mereka dan suku Dayak lainnya sangat merindukan cara hidup yang lama.
            Sekarang menjadi jelas bahwa masalah kemiskinan di negeri kita bukan hanya masalah bagaimana manusia dapat dapat hidup layak. Tetapi yang lebih mendasar adalah bagaimana menghormati dan memberi hak hidup mereka di atas nilai kultur tradisi sendiri. Hikmah dan kesadaran akan dimensi nilai ini harus diambil untuk membangun strategi politik bangsa kita. Masalah yang dihadapi oleh suku Dayak ini sebenarnya adalah miniatur masalah yang terjadi di Indonesia. Masuknya sistem nilai kota mendadak membuat mereka sadar bahwa mereka miskin. Reaksi mereka kemudian adalah lekas-lekas menjual harta kebudayaan mereka yang laku kepada orang kota atau menjadi pengemis di hadapan orang-orang asing. Dalam bentuk ekstrimnya melalui turisme ini kita menjual bangsa sendiri yang belum siap sama sekali dihadapkan secara frontal kepada suatu jaringan mekanisme kehidupan modern yang manifestasinya dihadapan mereka hanyalah kelimpahan materi.
Masalah ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih berada dalam kondisi yang anarkis, tidak ada yang superior antara satu dengan yang lainnya. Kita yang saat ini berada pada posisi yang aktif dan memiliki otoritas seharusnya dapat mengerem proses tersebut kalau kita menyadari bahayanya. Dan saat ini masalah yang harus kita hadapi adalah bagaimana membawa dan memanfaatkan semua posisi dan kemungkinan untuk kepentingan negara dan masyarakat banyak.