aku mulai mengeluh tentang hidupku, bosan rasanya menjalani rutinitas seperti ini. kuliah-nongkrong-cucian-musik-nonton-game-tidur.seperti tak ada kegiatan lain dalam hidup ini. gw sadar, tapi entah kenapa gw males melangkah ke kegiatan yang berbeda dr rutinitas gw sehari-hari. klo lu bingung, gapapa. dan parahnya, gw tuh orangnya kaga suka klo dinasehatin. malah terkadang ngelawan. jadi harus digimanain ya?
tapi yowesslah, kan hidup tuh indah klo dibuat indah. klo dipake ngeluh, habislah waktu hidup gw. hidup itu singkat. :)
Senin, 18 Februari 2013
Jumat, 01 Februari 2013
me
"manusia pasti dilahirkan dengan mimpi, kenapa tidak sekalian dibikin besar?" jikalau ada yang bilang mimpi kamu itu ketinggian maka katakan pada mereka bahwa "Perbedaan antara hal mustahil dan tidak mustahil terletak pada tekad seseorang." dan ketahuilah baha "Tuhan memeluk mimpi-mimpimu". jangan pernah putus asa dan JANGAN PERNAH MENYERAH.
pemusatan kekuasaan
Tugas Praktikum
Ke-10 Hari/Tanggal :
Rabu/21 November 2012
Mata Kuliah
Sosiologi Umum Ruang
Kuliah : CCR 1.04
TERJADINYA
PEMUSATAN KEKUASAAN
Catatan
untuk Bachrudin Martosukarto
Oleh
Sulardi
PENGGULINGAN
KEKUASAAN: ANTARA ORLA DAN ORBA
Oleh
Panji Semirang
SAMPANG
DAN TRADISI PERLAWANAN
Oleh
Anwar Hudijono
Disusun oleh:
Muhammad Salman
Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum
8
Asisten Dosen:
Vioci
Vesa Denia/I24090017
Ikhtisar bacaan 1
Sejak kemerdekaan, bangsa ini masih
terengah-engah untuk menciptakan bangunan hukum yang kokoh dan demokratis.Telah
lama bangsa Indonesia menjalani kehidupan politik yang otoriter dengan
pemusatan kekuasaan pada presiden. Hal ini terlihat dari penyusunan konstitusi
yang cenderung menitikberatkan segala kekuasaan pada presiden.
Contoh daripenyimpangan ini adalah dengan
adanya maklumat Presiden No 1 tahun 1946 yang menjadi landasan bagi presiden
untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan sepenuhnya. Selain itu, saat itu
muncul TAP MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Namun akhirnya penyimpangan ini diakhiri dengan ditumpasnya G30S/PKI.
Kemudian
pemerintahan Indonesia pun diganti dengan pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini
terjadi doktrin bahwa apa yang dikatakan pemerintah adalah selalu benar adanya.
Karenanya, DPR menjadi sebuah badan yang ompong. Kekuasaan
presiden pun semakin besar. Setelah itu, presiden pun mulai “meranjah”
kekuasaan MPR. Presiden, yang seharusnya “seolah-olah” menjadi mandataris MPR,
malah benar-benar menjadi mandataris MPR. Alhasil, kedaulatan MPR pun diambil
alih oleh presiden.
Jalan
keluar yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan
melakukan reformasi politik. Namun, untuk dapat merealisasikannya, diperlukan
kemauan dan usaha yang gigih dari penguasa negeri ini untuk benar-benar
melakukan perubahan.
Ikhtisar bacaan 2
Orde Lama (Orla) adalah tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa Soekarno. Sedangkan Orde Baru
(Orba) adalah suatu tatanan yang mengantikan Orde lama. Dalam pergantian dari Orla
ke Orba ini terjadi pertumbahan darah.yang dilakukan oleh PKI. Namun, ternyata
Orba masih saja belum sesuai dengan konsep demokrasi yang diinginkan rakyat.
Untuk itulah, pada tahun 1998 terjadi demo besar-besaran yang dilakukan oleh
mahasiswa seluruh Indonesia untuk menuntut perubahan menuju pemerintahan
reformasi. Dalam proses pergantian Orba ke reformasi ini juga terjadi
pertumpahan darah yang dialami oleh para mahasiswa dari Universitas Trisakti.
Ada persamaan dalam dua proses pergantian
kekuasaan ini, yaitu keduanya terjadi akibat adanya rasa tidak suka terhadap
presiden yang diangap terlalu berkuasa. Ada juga perbedaannya, yang pertama
adalah pada pergantian Orla menuju Orba marinir ada bersama para pendemo, namun
pada pergantian Orba menuju reformasi militer tidak berdiri untuk mendukung
para pendemo. Yang kedua, pada pergantian orba menuju reformasi, media massa
sangat berperan dalam menyebarkan berita saat demo berlangsung, sedangkan pada
pergantian orla tidak.. Yang terakhir, perbedaannya terletak pada jumlah
korban. Pergantian menuju pemerintahan reformasi lebih banyak memakan korban.
Ikhtisar
Bacaan 3
Masyarakat Sampang (Madura)
telah dikenal sebagai sosok masyarakat yang kaku dan keras. Mereka menjadi
terkenal karena aksi-aksi heroik mereka dalam menentang kezaliman pemerintah.
Contohnya adalah Tragedi Nipah. Aksi mereka pada tahun 1993, ketika para petani
miskin maju menerjang peluru aparat militer untuk memperjuangkan hak-hak dan
martabat mereka atas tanah yang akan dijadikan waduk. Bukan hanya itu saja.
Pada tahun 1997 masyarakat Sampang bergolak menentang hasil pemilu karena
dinilai tidak jujur dan tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk
memenangkan Golkar, partainya para penguasa.
Rupanya perlawanan memang sudah
menjadi ornamen kultural masyarakat Sampang sejak lama. Ketika marak terjadi
penggarapan partai-partai politik untuk memenangkan Golkar dalam pemilu 1971,
Sampang dijadikan sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) dalam melakukan perlawanan
terhadap Golkar. Usaha itu membuahkan hasil. Akhirnya NU mendapatkan kursi
lebih banyak daripada Golkar.
Sampai rezim Orde Baru runtuh,
Sampang dikenal sebagai daerah yang sulit “ditaklukkan”. Mereka mampu dan mau
melawan rezim pemerintah. Hal ini mungkin saja terjadi karena mereka mewarisi
tradisi perlawanan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang.
Resume 6 Sosiologi Umum
Tugas Praktikum Ke-6 Hari/Tanggal : Rabu/10 Oktober 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum Ruang Kuliah : CCR 1.04
Model Kelembagaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Oleh : Djuhendi
Tadjudin
Sistem Bagi Hasil
di Jawa Tengah
Oleh : Warner
Roell
Disusun oleh:
M. Salman
Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum
7
Asisten Dosen:
Vioci
Vesa Denia/I24090017
Ikhtisar bacaan 1
Ciri khas Badui Luar di Kenekes yang selalu
memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua adalah analogi bagi
sistem pengelolaan sumber daya hutan kita. Warna-warna lain bukanlah pilihan
bagi suku Badui Luar. Sama dengan sistem pengelolaan hutan kita yang ketika
sebuah konsep dioperasikan malah berujung pada kinerja yang ironikal dan
berbalik merusak alam, sedangkan opsi perbaikan bukanlah suatu pilihan.
Kartodihardjo (1999) menggambarkan bahwa
kebijakan pengelolaan sumber daya hutan saat ini bersifat paradoksal dan
diusulkan agar segera dilakukan penelitian ulang terhadap arah dan muatan
kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradoks itu.
Praktik pengelolaan hutan saat ini sarat
persengketaan, baik pada tataran persepsi, pengetahuan, tata nilai,
kepentingan, dan akuan terhadap hak kepemilikan (Tadjudin, 1999). Pada diskusi
ini, persengketaan dibatasi pada tata nilai, hak kepemilikan (kelembagaan
institusi), dan model pengelolaan (organisasi). Ketiga hal itu dikaitkan dengan
pelaku-pelaku terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari
pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Sebenarnya banyak model-model pengelolaan
hutan yang melibatkan masyarakat, namun implementasi bangsa kita cenderung
selalu ada bias. Jika kita bisa menggabungkan kontrol pemerintah dan masyarakat
dan dalam posisi yang sederajat, maka akan ada kolaborasi yang ideal. Manajemen
kolaboratif inilah yang merupakan pilihan yang paling masuk akal dimana
tercipta perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumber daya
hutan alam produksi yang mencegah terdegradasinya hutan sebagai “sumber daya
terbuka”.
Hutan Kemasyarakatan (HKM) merupakan
perwujudan pengelolaan hutan tawaran pemerintah yang mengakomodasi kepentingan
partisipasi masyarakat luas tadi, berikut dengan keunggulan dan kearifan
masyarakat lokal. Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah mencoba
menuangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang
“Hutan Kemasyarakatan” (HKM) pada tanggal 7 Oktober 1998. Namun, dalam regulasi
itu banyak ambiguitas dan tak tepat sasaran.
Walaupun demikian, apapun bentuk pilihan
masyarakat itu harus mencapai hasil akhir efisiensi, keadilan, keberlanjutan,
dan pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Selain itu, bagaimana pun
format kelembagaan yang diusulkan harus mempunyai batas yuridiksi, aturan main,
dan aturan perwakilan yang jelas.
Ikhtisar 2
Sistem
bagi hasil (bagi garap) di Indonesia mempunyai arti penting dalam kehidupan
pertanian yang ada di Negara ini, sebagaimana di negara-negara Asia Tenggara
lainnya. Meskipun mengolah sendiri tanah perairan diharuskan oleh Undang-Undang
Agraria Tahun 1990, tetapi dalam perkiraan resmi tahun yang sama,
jumlah penggarap bagi hasil di antara petani lebih dari 50% sedangkan hasil
yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai 40%.
Beberapa
analisis yang telah dilakukan di daerah tertentu menghasilkan data-data yang
berbeda untuk jumlah sistem garap dan system bagi hasil yang disebabkan oleh
statistic pertanian di Indonesia yang sangat tidak memadai. Dinamika ini
disebabkan oleh semakin buruknya struktur sosio-ekonomi dan usaha transmigrasi
yang terhambat karena masalah keuangan. Salah satu contoh nyata semakin
buruknya struktur sosio-ekonomi di Indonesia ini adalah bentuk pertanian umum
yaitu persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi namun tingkat teknik
produksi masih rendah. Begitupun dengan usaha transmigrasi yang terhambat
menimbulkan masalah seperti kepadatan penduduk yang melampaui batas, seperti di
Jawa ini. Dimana produksi pangan terutama beras melampaui kebutuhan penduduk,
namun daya belinya rendah, sehingga sering menyebabkan timbul masalah pangan
yang darurat.
Dilihat
dari berbagai masalah ini ternyata Undang-undang penggarapan yang telah
dikeluarkan pada tahun 1960 yang bertujuan untuk memperbaiki pendapatan
penggarap, tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian.
Berdasarkan
penelitian di daerah-daerah tersebut, system bagi hasil yang digunakan adalah
sebagai berikut :
- Sistem Maro (garap separuh, bagi separuh)
2. System Mertelu (Dimana
pemilik tanah yang menyediakan lahan pertanian mendapat dua per tiga hasil
panen karena menyediakan lahan pertanian)
3. Sistem Merapat (Tipe
bagi hasil ini membagi panen menjadi tiga perempat untuk pemilik tanah dan
seperempat untuk penggarap)
Walaupun
pada saat ini Undang-undang penggarapan yang dikeluarkan tahun 1960 tersebut
tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian. Namun jika ada usaha-usaha
lain untuk mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih baik, seperti
ditingkatkannya usaha keberlanjutan yang dirancang serasi dalam bidang
pertanian, perbaikan bidang politik kependudukan, serta perbaikan usaha
industrial dan infrastruktur, maka tidak akan menutup kemungkinan bahwa
pendapatan penggarapan di Indonesia akan menjadi lebih baik.
Resume 9 Sosiologi umum
Tugas Praktikum
Ke-9 Hari/Tanggal :
Rabu/12 September 2012
Mata Kuliah
Sosiologi Umum Ruang
Kuliah : CCR 1.04
SISTEM STATUS DAN PELAPISAN
MASYARAKAT SISTEM STATUS YANG BERUBAH
Runtuhnya Sistem Status Kolonial
dalam Abad Kedua Puluh
Oleh : W. F. Wertheim
SITUASI SOSIAL DUA
KOMUNITAS DESA DI SULAWESI SELATAN
Oleh : Mochtar
Buchori dan Wiladi Bidiharga
Disusun oleh:
Muhammad Salman
Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum
8
Asisten Dosen:
Vioci
Vesa Denia/I24090017
Ikhtisar bacaan 1
Pada zaman
penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pelapisan masyarakat yang didasarkan
pada garis ras. Belanda menempatkan dirinya di lapisan teratas. Tetapi pada
abad XX terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola kaku tersebut dan
meningkatkan mobilitas sosial. Uanglah yang melakukan pendobrakan pada sistem
yang lama.
Pada tahun
1900, perbedaan profesi semakin meningkat. Semakin banyak orang Indonesia yang
bekerja di bidang perdagangan dibandingkan dengan sebelumnya. Perkembangan
selanjutnya ketika masa depresi sekitar tahun 1930, suatu kelas bumiputera yang
tumbuh mulai ada mendobrak susunan masyarakat tradisional lama dan memberi
pengaruh yang bersifat individual.
Setelah
tahun 1990, pendidikan mulai terbuka untuk orang-orang Indonesia. Lambat laun,
orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan,tidak lagi menerima pelapisan
sosial kolonial berdasarkan ras. Pada masa ini, terjadi perubahan sikap pada
orang-orang Indonesia yang tidak lagi bangga menggunakan bahasa belanda atau
bekerja d kantor pemerintahan belanda. Dominasi orang cina di bidang
perdagangan juga sudah dapat diatasi oleh kaumpedagang Indonesia. Sehingga lama
kelamaan bangsa Eropa dan Cina menjadi setara dengan bangsa Indonesia karena
pendidikan. Namun, di sisi lain, sikap individualis dan penghargaan pada kekayaan
materi semakin menguasai orang-oang Indonesia.
Ikhtisar bacaan 2
Desa Maricaya Selatan
Desa
Maricaya merupakan desa yang terletak di Sulawesi Selatan yang 75,6%
penduduknya memeluk agama Islam dan sisanya memeluk agama Protestan, Katolik,
Hindu dan Budha. Dari lima golongan masyarakat tersebut dibagi lagi menjadi
tiga lapisan pokok masyarakat yang dilihat dari segi ekonomi yaitu : (1) Lapisan
ekonomi yang mampu, terdiri dari para pejabat dan kelompok professional
lainnya. (2) Lapisan ekonomi menengah, terdiri dari para alim, ulama, pegawai
dan kelompok wirausaha. (3) Lapisan ekonomi miskin yang terdiri dari para buruh
Dilihat
dari tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan pada masyarakat desa Maricaya
ini sudah terlihat sangat baik. Mereka tampak berusaha memanfaatkan kesempatan
pendidikan yang tersedia seoptimal mungkin. Walaupun yang dapat mengecam
pendidikan sampai ke perguruan tinggi hanyalah orang-orang dari lapisan atas
yang memiliki kemampuan dibidang ekonomi. Namun bagi mereka yang tidak mampu
bukan berarti mereka tidak bisa mendapatkan pengetahuan lebih, mereka lebih
banyak memilih untuk membeli media massa atau Koran untuk mengetahui berita dan
informasi atau bahkan jika mereka tidak mampu membeli maka mereka berusaha
meminjam atau turut membaca dari mereka yang mampu beli
Desa
Polewali
Tidak
berbeda dengan desa Maricaya Selatan, di desa Polewali pun terdapat tiga
lapisan masyarakat yaitu : (1) Lapisan atas, terdiri dari para pemangku adat,
alim ulama, dan para pejabat (2) Lapisan menengah, terdiri dari pegawai negeri
dan para pedagang. (3) Lapisan bawah yang terdiri dari kaum buruh
Terdapat
kecenderungan hedonisme dikalangan pejabat desa Polewali, mereka cenderung
untuk bersikap lebih modern. Sedangkan masyarakat lainnya masih menjunjung kesederhanaan
seperti yang dilakukan para ulama mereka, karena pada umumnya agama mendapatkan
tempat yang penting dalam masyarkata Polewali. Sehingga masyarakat Polewali
tampak sebagai masyarakat yang lebih bersifat inward looking. Dan kesadaran
masyarakat Polewali tentang pentingnya pendidikan sudah cukup tinggi.
Resume 5 Sosiologi Umum
Tugas Praktikum Ke-5 Hari/Tanggal : Rabu/03 Oktober 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum Ruang Kuliah : CCR 1.04
OMPU MONANG
NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK
Oleh : Arbain
Rambey
KEHIDUPAN SUKU
DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI
Oleh : Franky
Raden
Disusun oleh:
Muhammad Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum
7
Asisten Dosen:
Vioci
Vesa Denia/I24090017
Ikhtisar bacaan 1
Pembaca
surat kabar di Medan seakan dibombardir dengan iklan yang mengajak agar
masyarakat Batak Toba mengusir perusahaan yang merusak lingkungan Bona Pagosit.
Lingkungan Bona Pasogit adalah bahasa sub-etnik Batak Toba untuk menyebut
daerah tempat tinggal mereka di Sumatera Utara, tepatnya di sekitar Danau Toba.
Pemasang iklan itu adalah Parbato atau Pertungkoan Batak Toba, sebuah
organisasi kesukuan yang berdiri pada bulan Agustus 1997. Gerakan kesukuan ini
menimbulkan pertanyaan, tidakkah gerakan kesukuan merupakan langkah mundur di
tengah arus globalisasi. Tetapi menurut Ompu Monang, ketua Parbato sejak 1997,
banyak masalah hanya bisa didekati secara etnis. Dia juga memaparkan pentingnya
tiap etnis di Indonesia punya kesadaran diri untuk menggalang solidaritas kecil
yang akhirnya berguna untuk solidaritas Indonesia secara keseluruhan.Batak toba
merupakan salah satu sub-etnis suku Batak.
Watak
keras tampak jelas pada Ompu Monang yang aslinya bernama Daniel Napitulu.
Kata-kata kerasnya kerap diungkapkannya di berbagai media masa menyangkut
kelestarian lingkungan. Di satu sisi, kehangatan kekerabatan membawa arus
positif. Rasa tanggung jawab pada pendidikan dan perawatan seorang anak bisa
melebar pada paman-pamannya. “ Itu sisi positif kebudayaan kami yang harus dipertahankan”. Kata Ompu
Monang. Sedangkan sisi negatif kekerabatan Batak Toba menurut Ompu Monang
adalah penghaburan uang dari waktu. Dalam sebuah pesta Batak, orang bukan
kerabat yang hadir akan sangat kesal menunggu sampai selesainya acara keluarga
yang sangat bertele-tele.
Sudah
berkali-kali Parbato menyelenggarakan seminar untuk membahas penyelewengan adat
Batak Toba semacam itu. Namun hasil seminar masih terbatas pada cetakan hasil
seminar saja. Belum ada juga tindakan nyata mengatasi keborosan adat ini. Untuk
mengatasi kebuntuan ini, Ompu Monang akhirnya “mengorbankan” diri sendiri. Pada
pesta perkawinan anak perempuannya pertengahan Desember mendatang, ia
melaksanakannya dengan cara menurut dia efisien namun tidak keluar dari adat
Batak Toba.
Akhirnya,
masih dengan semangat mengingatkan bahwa gerakan etnis masih perlu, Ompu Monang
berkata lagi, “ Itu yang aku bilang. Sebagai Parbato, aku mau supaya organisasi
ini tidak cuma ngomong. Perbuatan nyata adalah nasehat terbaik.
Ikhtisar 2
Daerah pemukiman suku dayak Kenyah dan Mondang yang
terletak di wilayah Kecamatan Ancalong,Tenggarong merupakan daerah terisolir.
Dulunya daerah ini masih masih hidup dalam bentuk keutuhan kebudayaan dan sistem
nilai mereka yang asli. Tetapi setelah kedatangan Belanda yang membawa agama
Kristiani,banyak terjadi konflik diantara mereka dan berujung pada perpecahan.
Selain masalah keagamaan, kesulitan memperoleh barang kebutuhan baru menjadi
penyebab timbulnya konflik. Karena konflik tersebut, ada diantara mereka yang
memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya. Inilah awal dari proses
pemiskinan yang menggerogoti setiap sisi kehidupan mereka.
Suku Dayak kenyah dan Mondang saat ini hidup di sepanjang
Sungai Kelinjau. Dilihat dari sepintas lalu kehidupan mereka sehari-hari
kelihatan berkecukupan. Namun kenyataannya tidak demikian. Arus perekonomian
dikuasai oleh para pendatang yang mendirikan warung. Akhirnya, kondisi
perekonomianlah yang menjadi salah satu faktor yang paling kuat dalam
mengakibatkan kegoncangan dan memojokkan kehidupan orang-orang Dayak. Kondisi
ini juga berdampak pada kebudayaan dan kesenian mereka yang terdistorsi. Contohnya,
Lamin yang merupakan manifestasi dari tata cara pemerintah dan susunan
masyarakat serta merupakan titik sentral dari aktivitas kehidupan mereka dalam
ruang penghayatan kebersamaan yang eksistensial, akhirnya tereduksi menjadi
bangunan megah yang mati karena setiap keluarga saat ini sudah mempunyai rumah
sendiri. Akibat dari proses desentralisasi ini yaitu kesenian menjadi terpisah
dari kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi ini, tidak dapat dilepaskan dari
penanganan dan tanggungjawab pemerintah daerah. Tetapi usaha dari pemerintah
ini hanya menjebak mereka ke dalam masalah yang rumit.
Faktor terjahat yang menggoncangkan kehidupan masyarakat
Dayak adalah munculnya penguasa hutan yang mendadak mengunci hutan untuk daerah
perladangan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Ini membuat mereka
pontang-panting berusaha mencari alternatif hidup lain. Menurut suku Dayak,
tanggalnya sebuah roda kehidupan yang menggerakkan seluruh sistem nilai mereka,
merupakan titik awal dari munculnya khaos. Dari sini jelas bahwa proses
pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan
di tiap sisi kehidupan. Fakta yang dekat dari signifikan masalah ini terlihat
jelas pada kehidupan suku Dayak Umak Tau di kampung Tanjung Manis. Kampung ini
adalah kampung yang paling miskin dan rawan di seluruh kecamatan. Tetapi, di
dalam diri mereka terdapat jiwa gotong royong dan kooperatif. Mereka dan suku
Dayak lainnya sangat merindukan cara hidup yang lama.
Sekarang menjadi jelas bahwa masalah kemiskinan di negeri
kita bukan hanya masalah bagaimana manusia dapat dapat hidup layak. Tetapi yang
lebih mendasar adalah bagaimana menghormati dan memberi hak hidup mereka di
atas nilai kultur tradisi sendiri. Hikmah dan kesadaran akan dimensi nilai ini
harus diambil untuk membangun strategi politik bangsa kita. Masalah yang
dihadapi oleh suku Dayak ini sebenarnya adalah miniatur masalah yang terjadi di
Indonesia. Masuknya sistem nilai kota mendadak membuat mereka sadar bahwa mereka
miskin. Reaksi mereka kemudian adalah lekas-lekas menjual harta kebudayaan
mereka yang laku kepada orang kota atau menjadi pengemis di hadapan orang-orang
asing. Dalam bentuk ekstrimnya melalui turisme ini kita menjual bangsa sendiri
yang belum siap sama sekali dihadapkan secara frontal kepada suatu jaringan
mekanisme kehidupan modern yang manifestasinya dihadapan mereka hanyalah
kelimpahan materi.
Masalah
ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih berada dalam kondisi yang anarkis,
tidak ada yang superior antara satu dengan yang lainnya. Kita yang saat ini
berada pada posisi yang aktif dan memiliki otoritas seharusnya dapat mengerem
proses tersebut kalau kita menyadari bahayanya. Dan saat ini masalah yang harus
kita hadapi adalah bagaimana membawa dan memanfaatkan semua posisi dan
kemungkinan untuk kepentingan negara dan masyarakat banyak.
Langganan:
Postingan (Atom)