Jumat, 01 Februari 2013

Resume 3 Sosiologi Umum


Tugas Praktikum Ke-3                      Hari/Tanggal : Rabu/19 September 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04
“STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN”
penelitian di tiga desa santri
Oleh : Sunyoto Usman
“TOLONG BANTUPERBAIKI PERTANIAN KAMI”
Oleh : Muhammad Syaifullah
Disusun oleh:
Muhammad Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 7
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017








 
Ikhtisar bacaan 1
Elit, sebuah kata yang umumnya berkonotasi negatif yang serimg dihubungkan dengan kelompok orang yang serba glamour, tidak peduli dengan kepentingan dan keadaan sosial disekitarnya. Namun dalam sosiologi, kelompok elit yang dimaksud adalah mereka yangberwibawa, disegani, dihormati, kaya, dan berkuasa. Mereka adalah kelompok minoritas superior. Sedangkan massa adalah kelompok mayoritas inferior. Ada dua penjelasan pendapat tentang kelahiran kelompok elit yaitu lahir dari proses yang alami dan lahir akibat kompleksitas organisasi sosial. Kelompok elit sangat potensial sebagai agen perubahan, terutama dalam fungsinya yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat agar tidak terjadi miss komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok elit juga diisi oleh informal leaders. Dalam masyarakat masih ditemukan tipologi elit lain yang berada di luar garis birokrasi (non-legitimated elits).
            Dilakukan penelitian di tiga desa santri yang memiliki kaum elit dari kalngan sendiri yang sianggap paling berpengaruh di sesa tersebut. Untuk mengidentifikasi hal ini, digunakan tiga macam pendekatan, yaitu : positional approach, reputational approach, decisonal approach. Ditemukan 79 elit desa yg kemudian menjadi beberapakategori : 37 pamong desa, 18 pemuka agama, dan 24 petani kaya.
            Ada dua alasan penting mengapa tiga desa santri dalam wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dipilih sebagai lokasi penelitian, yaitu : banyak jumlah anggota masyarakat yang menjadi pengikut thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyah, anggota masyarakat ketiga desa tersebut memiliki daya dukung yang kuat terhadap ketahanan organisasi sosial politik islam.
            Dalam menghitung data, penelitian ini menggunakan program komputer network analysis  yang dirancang oleh Robert Kylberg (1986). Kedudukan elit dalam jaringan dapat dikategorikan manjadi tiga macam, yaitu : the liaison, the bridge, the ember, the isolated. Dalam kehidupan masyarakat desa yang relatif masih terisolir, mempertahankan struktur macam itu tidak terlalu menjadi masalah karena kepentingan politik mereka belum begitu kompleks. Tetapi dalam kehidupan masyarakat desa yang terbuka tidak lagi bersahaja, sebab tuntutan dan kemauan anggota masyarakat mulai majemuk. Sudah tiba saatnya elit desa saling bahu membahu, mengubah interaksi antar mereka dari yang biasanya dilakukan untuk menjawab kepentingan masing-masing ke arah hubungan yang koordinatif yang dilandasi keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan desa.
Ikhtisar bacaan 2
Pertemuan antara beberapa jagawana yang dipimpin Ade Suharso dengan beberapa tokoh masyarakat di Kondolo sangat menyejukkan. Tak ada kesan saling bermusuhan, bahkan ketika dialog dibuka, dengan lancar mereka mengungkapkan apa–apa yang mereka alami. Kepala Dusun Kandolo, Manap, mengungkapkan bahwa ia tahu tugas beberapa jagawana adalah untuk menjaga hutan. Tetapi, warga sendiri terpaksa membuka hutan untuk mempertahankan hidup. Umumnya, masyarakat disini bukan pencari kayu untuk di jual melainkan untuk di bikin menjadi kayu arang. Hal senada juga diungkapkan oleh Andi Mappotolo, tokoh masyarakat Kondolo. Ia mengatakan bahwa petugas hendaknya tidak melarang warga yang benar–benar mencari kayu untuk membuat kayu arang.
            Usai pertemuan itu, Ade Suharso mengatakan kepada kompas bahwa dusun-dusun yang sulit ditemui karena para petugas jagawana tidak berani untuk berlama-lama di daerah itu karena mereka dimusuhi. Perlawanan warga ini merupakan bentuk penolakan paling keras terhadap upaya Balai TN Kutai melakukan penyelamatan kawasan hutan konservasi ini, dan memperingatkan agar mereka tidak memperluas lahan dan pemukiman. Menurut Ade Suharso, ketegangan yang terjadi antara petugas lapangan dengan warga masyarakat karena terputusnya komunikasi antara kedua belah pihak. Mereka yang sudah lama tinggal di kawasan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Karena kemiskinan mereka disebabkan pemerintah daerah yang minim memperhatikan mereka. Menurut Tony, pengelolaan TN Kutai selama 20 tahun terakhir tidak pernah memperhatikan comunity development terhadap permukiman di dalam kawasan.
            Masyarakat yang bermukim di kawasan TN Kutai mencapai 15.000 orang atau mencapai 3.000 kepala keluarga. Kompas menyaksikan, bahwa warga yang mencari kayu arang hanya bisa dihitung dengan jari. Yang banyak terlihat justru perkebunan-perkebunan rakyat secara besar-besaran, penebangan dan pengangkutan kayu ulin, pengkaplingan lahan, dan pengusahaan tanah. Para pelaku ini bukan hanya rakyat kecil, tetapi juga orang-orang bermodal dan beberapa oknum Kepala Desa serta Babinsa setempat juga ikut membagi-bagi lahan didaerah ini. Menurut Tonny, warga setempat dengan orang luar sudah ada saling kerja sama dalam pembagian lahan TN Kutai. Tony juga berpendapat bahwa sebenarnya kita sudah mengetahui siapa saja yang menjadi pelaku perambahan di hutan ini, bahkan polisi juga mengetahuinya. Tetapi apa artinya jika hukum tidak bisa ditegakkan. Hal ini hanya mengancam pegawai jika diungkapkan.
Perusahan pertambangan batubara terbesar di Kaltim, perusahan pupuk PT Pupuk Kaltim, dan perusahan kilang pengelolahan gas alam cair PT Badak adalah magnet bagi para pencari kerja untuk terus berdatangan. Menurut Direktur Yayasan Bina Kelola Lingkugan (Bikal), Adief Mulyadi, persoalan TN Kutai tidak bisa dilihat secara parsial. Beban terbesar yang diterima TN Kutai sejak awal, yakni tidak adanya singkronisasi kebijakan hutan antara pemerintah pusat, pemda Kaltim dan pemda Kutai. Lihat saja, kata Adhief, kebijakan penetapan tiga desa definitif tidak disesuaikan oleh kebijakan pengelolaan TN Kutai. Akibatnya, tidak ada batasan yang jelas wilayah-wilayah desa mereka dan kawasan TN Kutai sendiri.Keadaan ini yang membuat hubungan antara jagawana dan warga menjadi ada jarak atau bahkan berbenturan kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar