Jumat, 01 Februari 2013

Resume 6 Sosiologi Umum


Tugas Praktikum Ke-6                      Hari/Tanggal : Rabu/10 Oktober 2012
Mata Kuliah Sosiologi Umum                        Ruang Kuliah   : CCR 1.04
Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Oleh : Djuhendi Tadjudin
Sistem Bagi Hasil di Jawa Tengah
Oleh : Warner Roell
Disusun oleh:
M. Salman Alfarisi/F14120124
Kelompok Praktikum 7
Asisten Dosen:
Vioci Vesa Denia/I24090017


 
Ikhtisar bacaan 1
Ciri khas Badui Luar di Kenekes yang selalu memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru tua adalah analogi bagi sistem pengelolaan sumber daya hutan kita. Warna-warna lain bukanlah pilihan bagi suku Badui Luar. Sama dengan sistem pengelolaan hutan kita yang ketika sebuah konsep dioperasikan malah berujung pada kinerja yang ironikal dan berbalik merusak alam, sedangkan opsi perbaikan bukanlah suatu pilihan. 
Kartodihardjo (1999) menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan saat ini bersifat paradoksal dan diusulkan agar segera dilakukan penelitian ulang terhadap arah dan muatan kebijakan yang ada dengan memperhatikan sumber-sumber paradoks itu.
Praktik pengelolaan hutan saat ini sarat persengketaan, baik pada tataran persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan, dan akuan terhadap hak kepemilikan (Tadjudin, 1999). Pada diskusi ini, persengketaan dibatasi pada tata nilai, hak kepemilikan (kelembagaan institusi), dan model pengelolaan (organisasi). Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Sebenarnya banyak model-model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, namun implementasi bangsa kita cenderung selalu ada bias. Jika kita bisa menggabungkan kontrol pemerintah dan masyarakat dan dalam posisi yang sederajat, maka akan ada kolaborasi yang ideal. Manajemen kolaboratif inilah yang merupakan pilihan yang paling masuk akal dimana tercipta perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumber daya hutan alam produksi yang mencegah terdegradasinya hutan sebagai “sumber daya terbuka”.
Hutan Kemasyarakatan (HKM) merupakan perwujudan pengelolaan hutan tawaran pemerintah yang mengakomodasi kepentingan partisipasi masyarakat luas tadi, berikut dengan keunggulan dan kearifan masyarakat lokal. Menimbang keunggulan konsep HKM, pemerintah mencoba menuangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (HKM) pada tanggal 7 Oktober 1998. Namun, dalam regulasi itu banyak ambiguitas dan tak tepat sasaran.
Walaupun demikian, apapun bentuk pilihan masyarakat itu harus mencapai hasil akhir efisiensi, keadilan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Selain itu, bagaimana pun format kelembagaan yang diusulkan harus mempunyai batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan yang jelas.

Ikhtisar 2
Sistem bagi hasil (bagi garap) di Indonesia mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian yang ada di Negara ini, sebagaimana di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun mengolah sendiri tanah perairan diharuskan oleh Undang-Undang Agraria Tahun 1990,     tetapi dalam perkiraan resmi tahun yang sama, jumlah penggarap bagi hasil di antara petani lebih dari 50% sedangkan hasil yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai 40%.
Beberapa analisis yang telah dilakukan di daerah tertentu menghasilkan data-data yang berbeda untuk jumlah sistem garap dan system bagi hasil yang disebabkan oleh statistic pertanian di Indonesia yang sangat tidak memadai. Dinamika ini disebabkan oleh semakin buruknya struktur sosio-ekonomi dan usaha transmigrasi yang terhambat karena masalah keuangan. Salah satu contoh nyata semakin buruknya struktur sosio-ekonomi di Indonesia ini adalah bentuk pertanian umum yaitu persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi namun tingkat teknik produksi masih rendah. Begitupun dengan usaha transmigrasi yang terhambat menimbulkan masalah seperti kepadatan penduduk yang melampaui batas, seperti di Jawa ini. Dimana produksi pangan terutama beras melampaui kebutuhan penduduk, namun daya belinya rendah, sehingga sering menyebabkan timbul masalah pangan yang darurat.
Dilihat dari berbagai masalah ini ternyata Undang-undang penggarapan yang telah dikeluarkan pada tahun 1960 yang bertujuan untuk memperbaiki pendapatan penggarap, tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian.
Berdasarkan penelitian di daerah-daerah tersebut, system bagi hasil yang digunakan adalah sebagai berikut :
  1. Sistem Maro (garap separuh, bagi separuh)
2.    System Mertelu (Dimana pemilik tanah yang menyediakan lahan pertanian mendapat dua per tiga hasil panen karena menyediakan lahan pertanian)
3.    Sistem Merapat (Tipe bagi hasil ini membagi panen menjadi tiga perempat untuk pemilik tanah dan seperempat untuk penggarap)
Walaupun pada saat ini Undang-undang penggarapan yang dikeluarkan tahun 1960 tersebut tidak menunjukan keberhasilan di daerah penelitian. Namun jika ada usaha-usaha lain untuk mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih baik, seperti ditingkatkannya usaha keberlanjutan yang dirancang serasi dalam bidang pertanian, perbaikan bidang politik kependudukan, serta perbaikan usaha industrial dan infrastruktur, maka tidak akan menutup kemungkinan bahwa pendapatan penggarapan di Indonesia akan menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar